Minggu, 19 Februari 2012

Sang Pemburu


Saya berambut ikal dan bertubuh gempal. Dan saya juga gemar mengoleksi.
Koleksi saya sangatlah indah tetapi tidak seorangpun yang menyukai dan mengagumi koleksi saya.
Saya mengoleksi mata.
Iya, mata. Anda tidak salah berpikir, saya memang mengoleksi bola mata.
Bola mata manusia.
Semua itu berawal 12 tahun yang lalu di umur saya yang ke 12.
 —————————-
Di tengah kerusuhan mei saya bersembunyi.
Sembunyi di balik cawan, sembunyi di balik lawan.
Tepatnya di restoran makanan peranakan di petak sembilan di daerah pecinan.
Ketika saya diburu. Lebih tepatnya, kami diburu.
Mereka memburu bak kerasukan setan.
Nafsu mereka memburu. Nafas mereka berputar cepat.
Malam itu pukul 11.00 malam. Saya sedang berusaha menelan segumpal benda putih yang terbuat dari tepung beras. Tenggorokan seperti tercekat, rasanya seperti dicekik seribu tangan.
Saya tidak tega menelan karena ini adalah makanan terakhir kami.
Setelah rumah kami mereka bakar. Semua harta mereka hancurkan. Hanya mantau inilah makanan satu-satunya.
Ibu sedang mengandung adik saya. Dan ia merelakannya untuk saya.
Sambil menangis saya merengek “Untuk Ibu.. Ini untuk Ibu..”. Tetapi ia hanya bergeming dan tersenyum.
Subuh itu. Tiba-tiba mereka datang. Mata sipit ibu terbelalak pertanda bahaya.
Mereka mendapatkan manusia buruannya!
Seketika ibu menyuruh saya sembunyi di bawah taplak meja yang berwarna merah di bawah altar persembahan.
Saya ketakutan
Menggigil. Gigi bergemeretak. Saya merasa kosong.
Mengapa kami bernasib begini hanya karena bermata sipit dan berkulit kuning?!
Saya hanya bisa membatin. Perih. Sakit.
Sekejap yang saya bisa dengar hanyalah teriakan ibu bercampur tangis, bersautan dengan tawa manusia-manusia laknat itu.
Terdengar cabikan daging bersimbah darah.
Ibu mati.
Tewas.
Meninggal.
Beserta adik saya.
Saya tidak dapat menolong. Saya terlalu takut. Terlalu pengecut.
Tidak hanya sampai disitu, mereka pun tertawa terbahak-bahak dan melemparkan sesuatu ke atas meja altar dengan sangat kencang.
Saya hanya bisa terpaku.
“Ingat janji pada ibu. Ingat janji pada ibu. Saya harus hidup. Saya harus hidup.”
Hanya itu yang bisa menggema di dalam diri.
Rasanya seperti candu mati. Candu yang membuat gila.
Senyap. Para bangsat hilang. Pergi.
Saya keluar dari persembunyian.
Sekejap saya terkesiap.
Tidak ada suara. Nada. Kata. Rasa.
Ibu mati.
Darah menggenang di seluruh ruangan. Bau anyir menyeruak menelusup ke dalam rongga napas.
Iya. itu ibu saya.
Tidak ada air mata.
Saya berkeliling melihat sekitar.Terdengar bunyi darah berkecipak berpadu dengan langkah kaki saya di atas darah ibu.
Sampailah di satu titik. Titik dimana hidup saya berubah.
Itulah tujuan saya. Tujuan hidup saya.
Bola mata. Bola mata yang membelalak hebat.
Bola mata ibu.
Bola mata itu melihat ke arahku.
  —————————-
Pagi ini dingin. Cukup dingin untuk kota Jakarta. Cukup dingin untuk Perburuan.
Sudah lama saya tidak berburu. Saya lapar akan teriakan dan tawa menggema sembari menginjak ratapan, menginjak harapan.
Sudah lama sejak hari itu, dan tujuan saya tidak berubah.
Pagi ini. Untuk kesekian paginya,saya tengok koleksi saya.
Dan saya tersenyum. Ratusan bola mata menatap ke arah saya dari balik toples bening berformalin.
Kemudian saya beranjak menuju kantong berwarna marun.
“Selamat pagi, Bu.” sapa saya sambil mengembangkan senyum seperti biasa.
Tidak ada jawab. Senyap.
Disanalah sisa kenangan ibu dan penyemangat hari saya.
Disana ada bola mata ibu. Bola mata ibu yang sudah mengering.
Seperti biasa, saya membawanya sebagai jimat saya.
Jimat keberuntungan.
—————————-
Buruan saya kali ini adalah seorang wanita. Ia adalah wanita keturunan jawa penjaja jamu di pasar. Ia mempunyai mata bulat dengan kornea coklat kehitaman. Indah. Memikat.
Parasnya ayu dan lembut. Hidungnya kecil dengan mata berbinar. Rambutnya yang bergelombang menimbulkan bau harum setiap angin meniupkannya ke arah sang surya.
Peluh itu. Mata itu. Buruan itu.
Banyak pria mengejarnya untuk dijadikan istri.
“Cih! Wanita seperti dia hanya cocok untuk dijadikan koleksi!” gumam saya menyeruak di udara, sebuah usaha untuk mengacuhkan sebuah senyum terindah. Untuk ketiga kalinya pagi ini.
Palsu.
Gema hati mendissonansi.
 —————————
Saya sudah mendekatinya selama 3 bulan. Masa-masa tersulit telah terlewati. Meskipun hanya pekerja serabutan, pesona saya cukup untuk menaklukkan makhluk bervagina.
Tetapi perburuan kali ini terasa berbeda. Darah saya berdesir setiap berdekatan dengannya. Jantung saya seperti menikmati setiap pertemuan dengan wanita ini.
Pagi ini seperti biasa. Kami bertemu di selasar pasar dekat tukang daging dan ikan. Saya paling suka tempat ini. Bau anyir ini mengingatkan saya pada tujuan awal saya.
Pada Ibu.
Dan Bau ini mengalahkan harum tubuh si penjual jamu yang membuatku mabuk kepayang. Bau bunga bercampur hangatnya rempah.
Dengan wajah malu-malu ia datang. Senyumnya menghampiriku.
Hati saya terasa hangat.
—————————
Malam ini adalah malam yang dinantikan.
Malam pemanenan. Panen bola mata. Panen buruan.
Si penjual jamu bersama saya beranjak ke pasar malam dalam diam. Ia sangat bahagia melihat lampu komidi putar berwarna warni, gulali dan kerumunan manusia sampah ini.
Ia tidak tahu bahwa ini semua adalah palsu, bias untuk tangis dan darah dirinya sendiri.
Malam makin larut. Kami berdua pun makin hanyut. Saya menikmati kehadiran ia disisi saya. Hangat nafasnya. Keluguannya. Desah diantara gurauan mesranya.
             “Saya cinta dia.”
Hanya gumam itu yang sanggup keluar dan digetarkan pita suara. Serak.
Saya cinta penjual jamu ini.
Hati saya berkecamuk.
Saya gamang. Saya hilang.
Saya merasakan perasaan 12 tahun yang lalu mengerubuti hati saya. Perasaan akan ditinggal pujaan, perasaan tentang kehilangan.
Sekejap berlalu saya rengkuh tubuh si penjual jamu itu erat.
            “Maaf, maaf Sumi. Maaf…”
Untuk pertama kalinya saya menyebut namanya. Untuk pertama kalinya saya meracau dengan penuh air mata sejak 12 tahun yang lalu.
Sejak ibu mati.
Dan untuk pertama kalinya juga saya mencintai buruan saya.
—————————
Hari ini. Pagi ini diumur 29 tahun. Di tahun 2015. Sudah 5 tahun semenjak hari itu.
Hari dimana saya menangis untuk pertama kalinya semenjak kepergian Ibu. Hari dimana saya menemukan kekasih dan cinta saya.
Hari yang merubah hati saya.
Pagi ini dingin, lagi-lagi dingin seperti pagi kemarin. Saya masuk ke dalam ruangan bercat kusam dan temaram.
Mata-mata itu masih menatap saya.
Saya pun tersenyum,
“Selamat pagi, Bu.”
“Selamat pagi Sumi.”
Kali ini saya membawa 2 kantung berwarna marun.
Selesai

Dyantini Adeline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar